*Perjalanan pribadi menuju rumah Tuhan*


-->
*Perjalanan pribadi menuju rumah Tuhan*
(Hari ahad 1 Syawal 1430 Hijriah)
Oleh
Wandi Barboy Silaban


 Di tempat inilah perantau akhirnya bergereja (sumber: google images)


Mentari belum lagi tenggelam sesorean itu dan awan-gemawan tampak seperti kapas putih menghiasi langit biru yang cerah. Awalnya, aku berniat hendak ke rumah Tuhan saat pertama menginjakkan kaki di bumi Mataraman, yaitu sebuah rumah Tuhan di daerah Kota baru. Tetapi seiring perjalanan yang kususuri, niat itu tak dapat kuperbuat... Begitulah! 

Berikut ini adalah catatannya:
Perjalanan ini biasanya kugapai sejauh kaki melangkah, perlahan berangsur-angsur cepat dan ligat disertai ayunan langkah bergantian; kaki kanan – kiri - kiri – kanan sembari memperhatikan suasana sekitar yang terlihat. Dengan mengenakan busana rapi bercorak kecoklat-coklatan dengan warna dasar yang tampak muda, serta berbekal sebuah kitab suci di telapak tangan kanan tampak seolah-olah diri ini seorang pendeta yang hendak melayani jemaat atau sesama lainnya. Prekk...!(GR= gedein rasa)
 
Langkahku dimulai dengan berjalan menyusuri sebuah jalan kecil yang bersebelahan dengan tempat tinggalku. Aku terus bergerak menuju ke arah utara dan sempat kusapa seorang ibu tua pemilik warung kecil yang berjualan di pinggiran trotoar kantor kecamatan Mantrijeron. Aku menyapanya sesaat. “Mohon maaf lahir dan batin, bu”. Ia hanya membalas dengan kata “ya” sebanyak tiga kali. ”ya-ya-ya “ seakan tak peduli sembari tergesa-gesa melihat keadaanku. 

Aku terus berjalan menyusuri trotoar menuju ke arah utara tampak daun-daun berserakan dari halaman depan sebuah sekolah dasar. Petugas kebersihan yang biasanya menyapu dan membersihkan pinggiran trotoar itu tidak tampak. Mungkin karena Idul Fitri, pikirku. Ketika berada pada perempatan jalan besar di wilayahku menetap itu lampu lalu lintas jalan raya menandakan berhenti, seakan hendak mempersilahkan perjalananku, seolah-olah kurasai bahwa aku yang seorang perantau ini didukung suasana sekitar secara tak langsung. 

Dengan langkah tegak aku berjalan sendirian, menyeberangi jalan dengan melangkah menuju plengkung (bekas benteng pertahanan jaman perang) Gading.
Cuit....cuit.....siulan dalam pikiranku membayang mulai tak keruan merasai keadaan semacam ini...(khayalan doank).


Perjalanan terus berlanjut menuju ke utara dan tibalah aku memasuki alun-alun selatan suasananya semarak karena banyaknya anak-anak dan orang tua yang bersama sama menikmati permainan yang disuguhkan oleh pedagang sekitar. Cerahnya langit biru dan awan - gemawan yang terhidang di angkasa menambah rasa semarak bagi suasana di sekitaran. 

Aku menuju sudut jalan ke arah timur melirik sebuah warung bertuliskan “warung senja” dalam papan kayu yang dipajang depan warung itu. Aku juga sempat memperhatikan lampion bercorak bintang- gemintang yang terbuat dari plastik itu diolah sedemikian rupa dari karya keterampilan tangan manusia . Tatapanku lurus ke depan menuju ke arah alun -alun utara dengan memasuki gang gang sempit lewat bale raos (sebuah resto milik keluarga Sultan). 

Begitu memasuki alun-alun utara suasana senja mulai sedikit gelap. Awan- gemawan mulai kelabu, putih keabuan, tak secerah di alun alun selatan. Begitu pula dengan suasana sekitaran yang hanya dihuni oleh beberapa penjual angkringan di sekeliling lapangan itu. Tampak mobil sedan silver yang mengitari alun-alun utara dengan kekhasan wit ringin yang berada di tengah-tengahnya. Barangkali sedang belajar menyetir mobil karena ia terus menerus berputar-putar di tengah-tengah lapangan alun-alun utara itu. 

Perjalananku kemudian memasuki area malioboro. Tampak ramai kendaraan terparkir dalam Gedung Agung yang pernah menjadi ibukota pemerintahan negara saat darurat ketika penjajah dari Barat hendak menggugat kembali negara yang telah berdaulat saat memproklamasikan kemerdekaannya tahun empat puluh limaan, sebelumnya. Begitu melanjutkan perjalanan, belum jauh rasanya melangkah, aku sedikit terpaku pada sebuah gereja yang juga sudah menjadi cagar budaya di kota ini. 

Ia sedikit menyempil-tak terlihat dari kejauhan karena letaknya yang menjorok ke dalam, belum lagi banyaknya para pedagang yang mencari nafkah di sekitaran gereja seakan menampakkan bahwa rumah Tuhan itu menyatu di tengah-tengah denyut nadi kehidupan dan penghidupan masyarakat sekitar.  Begitu memasuki gereja, kuperhatikan suasana tampak sepi –hanya ada satu majelis gereja yang sedang mempersiapkan pengaturan tata ibadah minggu senja itu. 

Aku melihat dan membaca warta gereja yang ditaruh di atas meja kayu beralas kain di muka pintu rumah Tuhan itu. Wah, ternyata aku datang lebih awal sejam dari ibadah yang biasanya dilaksanakan senja itu. Tiba - tiba Perut terasa lapar seakan cacing-cacing dalam perut sedang menari kegirangan. UHH, sial!! Dari suasana sekitar tampak seorang pembecak yang sedang menikmati bakso malang dalam becaknya. Maka aku pun turut mencari pedagang bakso malang di sekitaran yang berada di seberang jalan dari gereja itu. 

Sembari makan, saat itu kuperhatikan para pedagang kain masih sibuk menjajakan barang dagangannya meski hari itu Lebaran Syawalan. Sepertinya mengais rezeki tak pernah surut untuk dilakoni. Mereka, barangkali, justru memanfaatkan momentum tersebut untuk mengais rezeki sebanyak-banyaknya dari para turis lokal yang kebanyakan memang melewati hari-harinya dengan berbelanja bersama keluarga tercinta. Sehabis menikmati bakso malang itu, aku kembali ke gereja dan kuperhatikan ibadah baru saja dimulai. 

Aku mengikuti ibadah minggu Syawalan ini dengan tema “Hidup layak dan berkenan kepada Tuhan”. Pendeta membuka khotbahnya dengan berkata: Selalu, diharapkan bahwa ketika orang bekerja dalam ladang Tuhan seharusnya setiap yang bekerja di dalamnya dapat berbuah sendiri untuk kemudian menghasilkan buah-buahnya yang baru. Kemudian disusul dengan kalimat: Tetapi, selalu pula, tak semua orang dapat menghasilkan buah-buah yang baru dan bagi orang-orang yang bekerja dalam ladang Tuhan katanya ini masih misteri. (lebih tepatnya: harus terus diperjuangkan). Hidup yang berkenan kepada Tuhan adalah hidup yang beroleh hikmat dari Tuhan dan senantiasa untuk menyenangkan hati Allah. Begitulah inti tema minggu itu kira-kira. 

Pembacaan alkitabnya sendiri dari Kolose 1:9-14. Sebagai Amanat Hidup Barunya terdapat di Matius 22:37-40. Sedangkan Nas Pembimbingnya Yesaya 48:17-18. Pada sisi kiri dinding aku menghadap tampak sebuah tulisan dalam papan kayu kecoklat-coklatan yang tertulis: Aku adalah roti kehidupan(Ikben Het Broad Des Levens). Sedang sisi kanan juga ada tertulis: Dengarkanlah suaraku (Hoort Naar Myne Stem). Sementara di tengah-tengahnya bertuliskan:Yang percaya kepadaKu memperoleh hidup yang kekal ( Die In My Gelooft Heeft Het Eeuwige Leven). Khotbah hari itu usai dan ditutup dengan doa. Saat berdoa itu lamat-lamat terdengar kumandang azan Isya dari sebalik gereja. Berdoa selesai -Ibadah usai dan kami pun saling berjabat tangan-bersalam-salaman dengan pendeta dan majelis gereja lainnya seperti pada umumnya kebiasaan gereja . 

Ketika bersalam-salaman itu aku sempat melirik sebuah arsip sejarah gereja itu, yang ternyata mulai berdiri pada 1857. Dua belas pemimpin gereja sebelum 1952 adalah orang asing. Mereka, dalam periode waktu yang tak menentu saat perintisan selalu berganti antara satu dengan yang lainnya. Sedang pada periode 1952-1955 mulailah orang indonesia asli yang memimpin gereja itu, Pendeta Hardin namanya. 

Saat melihat arsip sejarah gereja itu pikiranku segera teringat dengan gereja etnis batak: HKBP( Huria Kristen Batak Protestan). HKBP berdiri resmi tahun 1881 dan dipelopori oleh misionaris Jerman Pdt. Dr. I.L. Nommensen. Orang indonesia asli sendiri di HKBP(tentu saja orang batak dalam hal ini ; bagian dari orang indonesia) memimpin pada periode 1940-1942. Pdt. K.Sirait namanya. 


Ia memimpin HKBP usai lima pendahulunya adalah orang asing. Hal ini kudapat dari Almanak HKBP yang biasanya dibagikan pada awal tahun baru pada setiap keluarga dalam gereja(jemaat) atau kepada siapa saja yang memerlukannya. (Jika masih ada stok di gerejanya J). Aku pribadi memiliki satu almanak yang berbeda dan “langka” berjudul : “Almanak 1940 PINATOERE ni FEDERATIE POENGOEAN KRISTEN – BATAK dohot Mission Batak. 

Bulan Syawal dari kalender Hijriah segera berakhir dan Dzulqo’dah menjelang perlahan, maka pada pungkasan catatan pribadi ini meski sudah jauh lewat, tak lupa dari hati serta pikiran senantiasa mengucap: Minal Aidzin Wal Faidzin – Mohon Maaf Lahir dan Batin…
19 Oktober 2009 Masehi atau 29 Syawal 1430 Hijriah

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.