nuansa klasik perjalanan pribadi

Pemandangan macam ini terasa klasik. Diunduh dari https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj0uUD5pCoBrd0Planvfv2bhN_olcYBgK_GnMnLiJuDRPL9CRZ4dz2bnsZYeb5hFItWAl661diXzVX_j9IHzFgOVFgDEv6WfLEuLchmtlPYqrqDHbXtIIrMSg-yWLo0PnUylcpUw9g-7g/s1600/IMG_20151226_164226.jpg


Minggu sore waktu itu. Senja belum lagi tampak dan masih menjelang. Pada momen itulah seorang pemuda yang belum pernah kembali ke rumahnya selama 3,5 tahun bergegas. Ia sudah memersiapkan segalanya. Pakaian, buku, dan sekadar buah tangan untuk orang tuanya. Karena si pemuda merantau di Yogyakarta yang terkenal dengan bakpia pathuknya,maka, oleh-oleh yang seadanya itu pula yang ia berikan untuk orang tuanya di seberang pulau Jawa; tepatnya di bumi Lampung. Dan yang terutama tentu saja : Buku-buku yang telah memberikan arti yang sangat mendalam bagi hidupnya selama hidup di tanah rantau. Buku yang memuat namanya sebagai pemeriksa aksara dan sekaligus penulis kreatif.

Tentang buku, si pemuda teramat yakin bahwa hal ini bukanlah yang berlalu dan hilang sekejap tanpa arti. Baginya, buku memiliki makna segala-galanya. Bukulah yang melangitkannya, seraya membayangkan bagaimana ia membaca kata itu pada mug gelas penerbit Mizan pada miladnya ke 25 yang bertuliskan"buku melangitkanku". Entahlah, katanya, ia lebih memilih buku dibandingkan model pakaian terbaru, sepatu,dan lain sebagainya. Bahkan, jika, boleh memilih ia lebih memilih berlapar ria demi memiliki sebuah buku yang disukainya. Itu katanya.

Pemuda yang memiliki keyakinan kristiani itu sengaja berangkat ke rumah orang tuanya menjelang Natal agar pada saat momentum natal dan tahun baru semuanya bisa berkumpul bersama keluargabesar orang tuanya. Keluarga besar, di sebut demikian karena ada saudara kandung dan saudara sepupu lainnya yang juga bersama-sama mencari penghidupan di bumi Lampung.

Hujan mengiringi kepergiannya ke bumi Lampung. Ia menaiki bus lintas propinsi puspa jaya dengan tujuan Yogyakarta - Lampung. Perjalanan, perjalanan, dan selalu perjalanan. Katanya, hidupnya adalah serangkaian perjalanan yang memiliki makna bagi dirinya. Makna perjalanan adalah makna yang ke dalam, menyatu dengan diri. Saat bus antar kota melintasi daerah Jawa Barat yang dulu pernah dilaluinya sebelum menginjakkan bumi keraton, terkenanglah ia dengan masa lalunya yang hanya bermodalkan semangat yang membara. Nekad yang sejatinya nekad, begitu kata orang. Dan ia mensyukuri keberadaannya yang sekarang dibandingkan dulunya. Ya, kehidupan memang mengajarkan dengan caranya sendiri. Dan sudah barang tentu itu adalah jalan pilihannya sendiri.

Tak terasa dalam perjalanan yang melelahkan itu akhirnya bus itu pun tiba di Pelabuhan Merak dan mereka harus menyeberangi lautan yang membentang luas menuju pelabuhan Bakauheni yang akan menghantarkannya kembali mengunjakkan kaki di tanah Lampung. Di dalam kapal terutama dalam rombongan ia merasai bahwa semua tampak diam. Monoton. Ia pun keluar dari bus dan naik ke atas tangga kapal laut untuk menghirup udara laut yang bertiup kencang. Huhhhhhhh..... waw, suara laut seakan menyambut dirinya. Selamat datang anak muda, bisikan pelan itu bertiup kencang dalam alam khayalnya. Ia mengagumi laut yang tak pernah berubah. Laut yang selalu membentangkan keluasannya yang tiada bertepi dan kedalamannya yang tak tersentuh.

Di kapal laut aktivitas orang nampak seakan mati. Semua diam menenangkan dirinya masing-masing. Semua seakan kosong dan tak ada aktivitas sehari-hari sebagaimana biasa dilakukan. Ya, hanya awak kapal yang beberapa gelintir saja yang menjadi panduan dan penggerak di kapal. Dan kapal memiliki nakhoda, yang dengan itu berarti menuju suatu tujuan. Jika nakhoda tidak paham hal macam ini, alamatlah kapal akan tenggelam. Maka diamnya para penumpang kapal yang serasa kosong melompong itu adalah diam yang memiliki suatu tujuan. Diam yang bermakna.

Dan entah mengapa, sang pemuda yang baru mencicipi asam garam kehidupan terbayang dengan kehidupan yang dijalaninya di tanah rantau. Teringat dengan bapaknya yang dulu menghantarkan dan melepaskan kepergiannya di tanah rantau. Semua cepat sekali. Sekejap begitu saja. Baru kemarin!

Sesampainya di perhentian by pass Kali Balok, adiknya sudah dengan setia menanti kedatangannya. Dan adiknya itu menungguinya bersama temannya yang bersedan tua. Kami pun tiba di rumah dengan selamat. Turun dari mobil, si bapak memanggil ibu bahwa anaknya pulang. Orang tua si pemuda menyambut gembira kedatangannya. Bahkan, si Ibu memeluknya erat walaupun saat itu sedang sibuk memasak kue kembang loyang. Kue itu dibuat karena sudah menjadi ciri khas keluarganya sejak dulu. Mereka lalu berbaur dalam rumah yang semua sudah terasa baru dan berbeda bagi si pemuda.

Hidup memang terus berjalan. Tak terasa barang-barang yang ada dalam rumahnya tampak modern dan berbeda dibandingkan dulu saat kepergiannya untuk merantau. Semua pengalaman adik-adik dan saudara, kerabat, handai tolan berbaur dalam tumpahan rasa kehangatan keluarga yang telah lama hilang. Menceritakan dan diceritakan dari mulut ke mulut lalu turun ke hati dan rasa. Dengan itu, kini, ia semakin menyadari besarnya tanggung jawab dan peranannya bagi kehidupan yang dijalaninya dan terutama bagi keluarganya.

Dan hari-hari selanjutnya dalam rumah orang tua si pemuda kembali bukulah yang menjadi teman dan pedomannya. Sesekali bersua dengan kawan lama untuk melepas kepenatan dalam rumahnya. Hanya buku tetep saja lebih kuat daya magisnya. Buku-buku catatan pribadi masa sekolah khususnya yang masih tersimpan dengan baik.

Ya, ini memang kisah pemuda yang menghabiskan waktu bergelut dengan buku dan bergulat dengan tulisan-tulisan. Tanah rantau di negeri seberang telah membekali hidupnya dengan hal macam ini. Dan cerita macam itu pula yang ia persembahkan bagi keluarga besarnya yang berkumpul bersama pada momentum tahun baru.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.