Senyapnya Hidup Pada Siang Di Kampung Minggiran


Di sekitar tempat inilah saya pernah tinggal dan menikmati hidup

Di bumi Keraton, siang itu tampak senyap. Pada perkampungan yang menghubungkan antara kota Yogyakarta dan kabupaten Bantul itu, waktu bagai terhenti. Zaman yang menuntut manusia untuk terus berpacu tidak memengaruhi kehidupan di perkampungan ini. Biar saja zaman berjalan apa adanya dan sebagaimana mestinya. Tinggallah hidup yang sederhana dan menerimanya dengan terbuka. Kehidupan yang digilas roda zaman serba cepat-cepat ini, selalu berjalan terus-menerus dan hal ini seakan-akan meminggirkan kehidupan orang-orang di perkampungan ini. Ya, inilah kehidupan di kampung Minggiran!

Seorang pemuda yang berperawakan kerempeng menepikan diri di kamarnya. Hanya saja, ia menekuni dunia kepenulisan. Dan tempatnya ini memang tempat yang memang sepadan untuk aktivitas menulis yang, biasanya, kata penulis kebanyakan, memerlukan fokus dan konsentrasi tinggi. Ia mencoba beranjak. Ketika melangkah keluar dari kamarnya untuk sekadar mengamati sekitarnya, ia merenungi keadaan sekitarannya itu. Sesiang itu senyap sekali. Tapi, ia meyakini tentulah ada denyut nadi kehidupan di dalamnya, meski hanya kesenyapan yang nampak. Begitulah.

Lalu ia beranjak untuk melihat sekitarnya, ia berjalan pada lorong-lorong perkampungan sekitaran. Ia terpana melihat seorang lelaki sepuh yang duduk tertidur di beranda rumahnya. Lelaki tua yang rambutnya penuh uban itu merupakan sosok lelaki yang sehat dan berperawakan badan cukup besar untuk laki-laki seusianya. Dia tertidur menundukkan wajahnya sembari memejamkan matanya. Ya, inilah kehidupan yang pasrah kepada Gusti mengingat usia yang makin senja. Rumah itu nampak asri serta ditumbuhi pepohonan yang rimbun pada halaman rumahnya. Dari suasana yang terlihat, meski tertidur lelaki tua itu tampak menikmati kesendiriannya. Si pemuda tersenyum simpul melihat pemandangan itu.

Terus ia melangkah menyusuri lorong perkampungan itu, kali ini ia melihat seorang pembecak yang sedang memperbaiki becaknya. "Monggo, Pak", tegur si Pemuda. "Njih, monggo, Mas", sahut Pembecak itu sembari terus mengutak-atik becaknya. Berlalu dari itu, kini ia memandang ibu-ibu yang asik ngobrol-ngobrol di depan rumahnya. Ibu itu merupakan penjual warung sembako di sekitaran kampung itu. Suaminya, seorang pekerja keras yang mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Ya. Kerja dan teruslah bekerja. Di tengah-tengah perkampungan warga ini, sebuah lahan kosong mulai dibenahi dan dibangun untuk keperluan pembangunan Yayasan Pondok Pesantren Krapyak.Segalanya karena aktivitas kerja saja. Tidak bekerja lalu mau apa? Tak mau bekerja lalu maunya bagaimana? Sedang Pramoedya Ananta Toer via Rumah Kaca sudah mewanti-wanti, katanya: ... "gairah kerja adalah pertanda daya hidup; selama orang tak suka bekerja sebenarnya ia sedang berjabatan tangan dengan maut…”. Begitu.

Terus begitu kehidupan masyarakat dengan segala dinamika dan denyut nadinya masing-masing.Lalu waktu terus berlalu.Mendung menaungi sekitaran.

Cuaca yang saban hari berubah membikin hidup bagai tak menentu. Dahulu, cuaca masih bisa dikira-kira, namun sekarang semuanya berbeda. Sesiang sudah lewat, dan sore tiba. Baru saja dia berjalan ke sekitaran dan kembali lagi ke kamarnya, kini giliran hujan menderas disertai hembusan angin yang kencang. Hidup memang tak terpermanai. Semua kehidupan di tempat ini seakan menyatakan bahwa hidup ini untuk dijalani. Marilah jalani kehidupan ini dengan baik dan bermanfaat...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.