Nyanyi Sunyi Seorang Bisu(NSSB)

 
 [Anak ruhani ini semacam reportase pengalaman hidup PAT dan teman-temannya selama di Pulau Buru]
(Gambar diunduh dari Sumber:http://haryo-lawe.blogspot.com/2010/05/nyanyi-sunyi-seorang-bisu.html)


Jilid I dan II. Pramoedya Ananta Toer (PAT) menyebut "buku" atau karya-karya yang dilahirkan dan diciptakannya sebagai anak-anak ruhaninya. Demikianlah, judul di atas merupakan salah satu anak ruhaninya yang menceritakan pengalaman pribadinya ketika ditahan tanpa proses pengadilan di Pulau Buru. Itu hanya karena terbetik berita yang pada gilirannya menimbulkan stigma yang beredar di masyarakat bahwa dirinya seorang "Komunis".  PAT pun terpaksa menjadi seorang tahanan politik (tapol) oleh karena kekuasaan rezim militer yang otoriter mulai menancapkan kekuasaan bahkan hingga tiga dekade lebih. Pada anak ruhani Lekra Tak Membakar Buku - dikerjakan dengan riset sejarah yang tekun - Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Yuliantri mendedahkan secara kritis bagaimana kedudukan seorang PAT dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang selalu disebut-sebut sebagai organisasi bawahannya(onderbouw) PKI. 

Di sini, perantau tidak akan mengaji anak ruhani Lekra Tak Membakar Buku, juga tidak akan mengenali pemikirannya yang sedikit banyak bergesekan dengan kaum komunis seumumnya. Pada blog ini, perantau hanya ingin mengungkapkan kesan dan pemikiran serta perasaan setelah membaca kedua jilid anak ruhani NSSB. Buat perantau, anak ruhani PAT ini juga menyisakan sisi lain yang mengharukan dan menyentuh yakni : Surat menyurat antara ayah dan anak-anaknya ketika PAT masih ditahan di Pulau Buru.

Surat menyurat itu harus mengalami sensor yang teramat ketat dari pemerintah via tentara Indonesia, yang sudah merdeka dari penjajahan kolonialis, tapi belum merdeka dari sisa-sisa watak penjajahan yang membelenggunya. Menyedihkan sekaligus ironis. Dan bernyanyilah PAT menyikapi segalanya. Bernyanyi melalui tulisan-tulisannya.



Dalam nyanyiannya terdengarlah suara kemarahan dan kesedihan sekaligus yang harus ditanggung seorang diri. Ia merasa tak ada yang mendengar dan menyambutnya. Bagai sebuah gong yang dipukul dalam suatu ruang tertutup yang selalu memantul kembali. Ya, hanya bergema saja. Kembali kepada diri sendiri. Ya, segalanya dirasai dan dilaluinya sebagaimana adanya saja. "Betapa tragisnya hidupmu Pram", kata wartawan senior Rosihan Anwar ketika berkunjung ke Pulau Buru suatu kali. "Jangan katakan ini suatu tragedi", Pram membalasnya dengan nada yang getir tapi sarat makna. Biarlah segala pergulatan kehidupannya itu diendapkan dan dipendam dalam hatinya. Dan semua itu harus dituliskan! 

Tulisan-tulisannya menjadi kekuatan untuk mewakili suaranya yang bagai seorang bisu di tengah Pulau Buru. Tulisan-tulisan itu menjadi alat komunikasi bagi dirinya kepada dunia. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya selain terus menulis. Dengan menulis, itu berarti sudah separuh penyampaian maksud serta harapan dan tujuannya. Atau setidaknya ada orang-orang yang bisa mengerti dan memahami keadaannya yang diumbang-ambingkan oleh rezim yang berkuasa.

Buat perantau, ungkapan "Nyanyi Sunyi Seorang Bisu" itu adalah penggunaan dengan gaya bahasa metafora yang tepat. Sesuai dengan apa yang terjadi dan dirasakannya seorang diri. Pram menyanyi bagai seorang bisu. Dan ia memilih bernyanyi dalam kesunyian yakni menulis. Ya, hanya dengan menulislah dirinya seperti orang yang bernyanyi mencurahkan segenap perasaan dan pikiran yang berkecamuk dalam hatinya. Pada gilirannya lahirlah anak ruhani yang diolah dari pergulatan batinnya yang terbeban berat itu. Anak ruhani ini sekaligus membuktikan bahwa si bisu itu ternyata bukanlah si bisu yang tak berdaya dan bersikap manut-manut saja. Meskipun bisu, ia tidak bisa tinggal diam begitu saja menerima kenyataan yang merendahkannya. Ia sudah melawan walau akhirnya kalah. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu(NSSB) telah lahir ke tengah-tengah masyarakat yang sedang menikmati hasil pembangunan. Tinggallah bagaimana para penguasa negeri ini menyikapi apa yang telah tertulis dalam dua jilid NSSB itu. Ataukah diabaikan begitu saja dari perjalanan sejarah kelam yang pernah terjadi di negeri ini???

Ya, semua bergantung pada siapa yang berkuasa. Pram berusaha melawan kesewenang-wenangan para penguasa dan ketidakadilan kemanusiaan yang ada di bumi manusia melalui tulisan-tulisannya. Dan ini juga sebagaimana kutipan pungkasan pada anak ruhani Bumi Manusia : "Kita sudah melawan, nak, nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Tabik.





Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.