Dari [Joke] Jakarta Untuk Jakarta

Dengan logat betawi yang kental, terlebih dulu ingin mengucap: Selamet Ulang Tahun ye, Jakarte. Nambah tue aje nih ente. Semakin berjaye aje ke depannye. Maju Terus untuk bangse dan negeri ini. Ya, wajar aje pesen2 ini semue dikasih buat Jakarte karena ente kan ibukotenye negare Indonesia. hehehe...

Jakarta dengan segala denyut nadinya yang menggeliat. Di sanalah segala macam kehidupan dan pergulatan didalamnya dipanggungkan dengan jomplang. Tak peduli dengan ketidakadilan hidup yang mengenaskan antara satu dengan lainnya, semua mengambil bagiannya masing-masing dalam kehidupan. Pemulung yang tidur di kolong jembatan mengambil bagiannya sebagai pemulung. Wakil rakyat di Senayan mengambil bagiannya sebagai wakil rakyat, meski kinerjanya banyak dicerca pelbagai pihak. Banyak lagi berbagai kontradiksi orang yang mencari sumber penghidupannya di Jakarta dihadirkan secara gamblang.  Dan seluruh kehidupan yang kontradiktif itu berbaur dan menyatu dalam ibukotanya negara Indonesia : Jakarta.

Kalau menilik dari sejarahnya, Jakarta ternyata selalu berubah-ubah. Jakarta dulunya dikenal dengan sebutan Sunda Kelapa sebelum tahun 1527, Jayakarta pada tahun 1527-1619, Batavia/Batauia, atau Jaccatra tahun 1619-1942, dan Djakarta pada 1942-1972. Demikian tilikan sejarahnya.

Perantau yang tinggal di [Joke] (Jakarta) Yogyakarta ini ingin sedikit berbagi canda tawa karena kesamaan kata antara Jogjakarta dan Jakarta. Yogyakarta sering diucap dan dituliskan dengan : Jogja, Jogjakarta, Yogyakarta. Barangkali, unsur lidah dan ucapan orang Indonesia yang mau gampangnya saja cukup berpengaruh dalam hal ini. Dan sebagaimana diketahui bersama hubungan antara Yogyakarta dan Jakarta masih sedikit merenggang karena status RUU "keistimewaan" Yogyakarta yang mengambang. Sekarang masih dalam tahap menunggu penggodokan RUU di Gedung DPR/MPR.  


 
Mari nyantai sejenak. Walaupun santai tapi juga diselipi unsur keseriusan. Bukan santai yang sesantai-santainya dan menjadi berleha-leha dengan kesantaiannya itu.Santai tapi serius, begitu istilah populernya. Jakarta, hemat perantau, adalah daerah yang "kebarat-baratan" dalam arti bebas. Kok bisa? Ya, bisa dong. Lha, coba aja lihat bagaimana Jakarta - walaupun ibukota negara - dikepung oleh sebagian besar wilayah Jawa Barat. Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok - untuk menyebut Jabodetabek - semuanya merupakan wilayah dari Jawa Barat. Terus, coba lihat lagi latar historisnya bagaimana Jakarta dulu bernama Sunda Kelapa. Nah, itu dia. Sundanya itu loh, kita tahu bagaimana suku Sunda kan aslinya Jawa Barat. Itu artinya Jakarta masih dekat dengan Jawa Barat juga bukan? Ini yang pertama.

Yang keduanya, Jakarta juga memang banyak terpengaruh unsur-unsur dari negeri barat.  Benua Eropa, Amerika Serikat, dan lain sebagainya menanamkan pengaruh yang kuat untuk Jakarta. Jakarta menerima bulat-bulat sepenuhnya apa yang ada di Barat sono kudu saklek ditiru oleh orang-orang yang menghuni kota Jakarta. Gak gaul dan gak keren kalau tidak meniru perkembangan dunia barat yang terus-menerus berkembang dan selalu up to date. Karena tak ada filtrasi atau penyaringan terhadap nilai-nilai dari barat itu, Jakarta pun akhirnya bercirikhaskan individualistik yang teramat akut, baik dari corak kotanya maupun orang-orang yang tinggal di dalamnya. Slogan 3 H (halal, haram hantam aja) menjadi kuat dipegang ; yang penting bisa makan, bisa hidup! Dan tak salah rasanya ungkapan populer yang mengatakan bahwa:sekejam-kejamnya ibu tiri,lebih kejam ibukota!


"Jakarta Kita, Kian Tertata Kian Dicinta", demikian tema HUT Jakarta ke 484 ini. Pada dirgahayunya kali ini ada forum curhatan warga Jakarta ; Ubeg-Ubeg(usul begini-usul begitu). Dan, perantau di sini, di Jogja ini, berbagi canda tawa bersama kepada semua pihak yang turut mengenangkan kota Jakarta. Sekadar tambahan saja, perantau juga adalah orang kelahiran Jakarta, bahkan sempat mencicipi kelas 1 SD di Jakarta. Tepatnya SD N Duri Kepa 12 Pagi, Jakarta Barat.  Jadi, enam tahun bersama Jakarta, perantau memiliki kenangan yang tak akan terlupa dalam hidup perantau. Lalu kemudian pindah dari Jakarta dan menyeberangi pulau Jawa mengikuti orang tua hingga akhirnya sampailah di wilayah Lampung. Buat perantau, Jakarta akan tetap mengabadi dalam hati. Sebab itu perantau menuliskan ini semua...

 

Di sekolah inilah sempat kujejakkan kakiku sewaktu kelas 1 SD (Gambar diunduh dari http://www.panoramio.com/photo/50600765)














Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.