Catatan 93 Tahun PAT


Gambar diunduh dari https://www.google.co.id/imgres?imgurl=https://cdn.gramedia.com/uploads/authors/pramoedya-ananta-toer-copy.jpg&imgrefurl=https://www.gramedia.com/author/author-pramoedya-ananta-toer&h=759&w=551&tbnid=-XYPJh0ct5dd2M:&tbnh=186&tbnw=135&usg=__VgQAJ684U3BbNeQLPNZQA9wF0mE%3D&vet=10ahUKEwjL6_DS-ZDZAhWBN5QKHVs0DpsQ_B0IhQEwCg..i&docid=a_1VnWmO3byLUM&itg=1&sa=X&ved=0ahUKEwjL6_DS-ZDZAhWBN5QKHVs0DpsQ_B0IhQEwCg


SEANDAINYA engkau masih hidup, genap 93 tahun usiamu, Bung. Seorang manusia yang merindukan keadilan, kemanusiaan, dan keindahan dalam setiap karya-karyanya. Inilah Pramoedya Ananta Toer (PAT). Sejak kematianmu, 30 April 2006, belum ada perubahan signifikan di negeri ini khususnya dikaitkan dengan karya-karyamu yang sebagian menerima (kebanyakan kalangan muda) dan sebagian menolak (sebagian orang tua).
Inilah Indonesiamu, Bung. Indonesia yang belum lagi mencapai taraf keadilan dan pemuliaan harkat dan martabat seorang manusia yang paripurna. Masih saja berkutat pada ketidakadilan, kekuasaan yang otoriter, friksi-friksi kecil yang meletupkan emosional sesaat, dan banyak lagi yang lainnya.

Satu tahun lalu profilmu berikut mesin ketik yang jadi andalanmu muncul sebagai google doodle. Namun, kini lenyap ditelan bah informasi yang menghembalang. Maka, membayangkan dirimu, saya ingin membagikan sekelumit kisah “Kalau Dewa-Dewa Turun ke Bumi” yang tertulis dalam anak rohanimu Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (NSSB) jilid pertama. Sebuah metafora tentang orang-orang yang datang untuk sekadar bertemu dan menanyakan perihal keadaanmu. Sebuah basa-basi, menurutmu. Mereka yang pernah jadi lawan-lawanmu dalam polemik sastra di era demokrasi terpimpin didampingi tim universitas dan beberapa orang lainnya baik sipil maupun miiter. Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, Gayus Siagian, untuk menyebut beberapa nama.
Betapa menohoknya pembuka kalimat “Kalau Dewa-Dewa Turun ke Bumi”. Pram tetap berpijak pada sejarah, kisah orang -orang tua saat dia masih bocah. Ia menghidupi dan mengamininya. Begini pembuka kalimat itu ; Pernah diajarkan kepadaku : Derajat manusia lebih mulia daripada malaikat … Manusia dibuat dari tanah, malaikat dari api, dan iblis adalah malaikat yang mengingkari Tuhan. Bagaimana hubungan antara iblis dengan memedi, roh-roh gentayangan pengganggu manusia aku tak tahu. Setidaknya Abdullah bin Abdulkadir Munsyi pada pertengahan abad yang lalu dengan gaya mengejek telah membikin daftar berpuluh macam memedi ini

Hikmah apa yang bisa diambil dari cerita “Kalau Dewa-Dewa Turun ke Bumi” ini? Sebagai penulis yang pernah meraih penghargaan pada masa awal kemerdekaan republik, nama Pramoedya Ananta Toer telah dikenal. Fuad Hasan, Kharis Suhud, Jenderal Soemitro, dan lainnya yang datang mengunjungi Pramoedya ke pulau Buru sudah membaca sedikit banyak buku-buku Pramoedya. Pram memang termasuk penulis produktif masa awal republik berdiri. Menulis baginya tidak lagi sekadar hobi. Menulis adalah tugas nasional. Oleh sebab itu, ia turut menyumbangkan peradaban manusia Indonesia yang lebih modern sejak Indonesia merdeka. Semua terentang dalam karya-karyanya di bidang sastra, sejarah, politik, dan lain sebagainya.

Konsepnya tentang pentingnya berkiblat kembali sebagai negeri maritim mengubah paradigma masyarakat Indonesia yang lama terpaku sebagai negara agraris di bawah kekuasaan rezim orde baru. Konsep yang di kemudian hari digaungkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melalui pembentukan kementerian kelautan dan perikanan dan dilanjutkan hingga pemerintahan masa kini. Itulah sekelumit kisahku mengenang kelahiranmu yang ke-93 tahun.  Semoga engkau tenang di sana, Pram. Semoga berbahagia di usia ke-93 tahun.

 






Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.