Djin, Sang Cendekiawan Demonstran


Diunduh dari google images
Onhoorbaar groeit de padie (Tanpa terdengar padi tumbuh)
ENTAH mengapa terlintas kalimah sakti dari Multatuli di atas saat saya membaca berbagai catatan dan obituarium tentang Soe Hok Djin a.k.a Arief Budiman, cendekiawan sekaligus aktivis prodemokrasi beberapa saat usai kepulangannya kepada Sang Khalik. Tulisan dari kolega, sahabat, murid, aktivis, dan mereka yang mengidamkan cita-cita masyarakat yang adil dan sejahtera seakan beresonansi satu sama lain. 

Ungkapan tanpa terdengar padi tumbuh itu juga membentangkan kisah saat Soe Hok Djin duduk termenung di sebelah peti jenazah adiknya, Soe Hok Gie. "Tiba-tiba saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang," tulis Soe Hok Djin yang memberikan kata pengantar pada buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie. 

Ben Anderson, Sahabat Soe Hok Gie, juga pernah mengguratkan catatan tentang Soe Hok Gie dalam sepucuk suratnya. Indonesianis yang pernah dicekal rezim Orde Baru itu menulis, "Gie, lebih dari seorang teman setia yang bisa dipercaya. Ia memiliki keberanian dan semangat yang terus menyala-nyala. Dia adalah simbol untuk semua harapan kita. Tetapi, Gie juga seorang yang selalu gelisah. Gie pernah menulis surat ke saya bahwa Gie merasa sendirian," tulis Ben pada sepucuk suratnya berjudul: In Memoriam Soe Hok Gie dengan terjemahan bebas.  

Baik Soe Hok Gie maupun Soe Hok Djin, keduanya memilih jalan yang sama. Meski terkesan berjuang sendirian di tengah rezim yang berkuasa dan dipenuhi dengan oportunisme, keduanya tetap berdiri tegak dengan berpedoman pada nilai-nilai kebenaran serta menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi. 

Menurut hemat saya, seperti itulah cara mengenangkan kisah saat membaca kiprah dan sosok mendiang yang ditulis oleh mereka yang mengenal dan mengagumi Soe Hok Djin. Cendekiawan sekaligus aktivis terus bermunculan ke permukaaan. Namun, saat cendekiawan atau kaum intektual mulai merapat kepada kekuasaan, semua yang diperjuangkan seakan hilang. Idealisme tenggelam diterjang pragmatisme. Tindak tanduk cendekiawan itu hanya menjadi corong penguasa. Demikianlah siklusnya.


Namun, Djin, demikian mula-mula namanya disapa secara karib sebelum menjadi Arief Budiman, adalah sosok intelektual yang berbeda. Ia terus hadir dalam mengritisi kekuasaan yang sewenang-wenang dan berpihak kepada yang benar. Layaknya jurnalisme, Djin berpihak kepada kebenaran. Ya, sosok Djin akan terus muncul dan mengusik para penguasa yang menghegemoni kehidupan masyarakatnya dengan ketidakadilan dan diskriminatif.

Yang menarik, setelah ia mengritik penguasa dan suaranya mulai "diterima" publik dan republik, Djin tidak mau bergabung dan terlarut dalam kekuasaan. Ia menolak segala hal yang tidak sesuai idealismenya. Sementara kawan-kawannya yang menjadi aktivis 1966 yang sebelumnya sama-sama mengritisi rezim Soekarno telah merapat kepada kekuasaan, Djin tidak. 

Seperti adiknya, Soe Hok Gie, yang juga mengritisi semua aktivis yang merapat kepada kekuasaan, Soe Hok Djin juga memilih jalan yang persis seperti adiknya. Jalan senyap. Seperti padi, tidak terdengar tapi tumbuh. Djin absen dalam perebutan kue pembangunan yang banyak diperebutkan aktivis pro demokrasi masa itu. 

Seturut catatan sejarah, kala itu adalah suatu peralihan dari rezim Soekarno ke rezim Soeharto yang, tentu banyak membutuhkan tenaga-tenaga terampil untuk suatu pembangunan yang dinamakan Orde Baru. Di titik ini, Djin dan Gie  terlihat mengasingkan diri. 

Keduanya mengambil pilihannya masing-masing. Gie dengan hobinya yang naik gunung, Djin dengan minatnya pada sastra dan seni. Perlahan tapi pasti, keduanya akhirnya menunjukkan keberpihakannya kepada orang kecil, tertindas, dan yang lemah. Meski memiliki intelektual yang mumpuni, Djin tidak bersikap angkuh. Sosok dan penampilannya sederhana saja.  



Intelektualisme

Tidak pelak lagi, Djin adalah avant-garde intelektualisme Indonesia periode 1966-1990-an. Hampir segala bidang ia geluti. Politik, seni, sastra, akademik, film, dan lainnya. Dalam bidang politik, Djin adalah salah satu konseptor utama golongan putih (golput) yang menolak pemilihan umum dengan cara tidak melakukan pencoblosan karena sudah pasti diketahui siapa pemenang pemilihan umum tersebut. Bahkan, ada selentingan yang menyatakan ia adalah bapak golput nasional.

Dalam bidang sastra, Djin adalah salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan yang berpolemik dengan Lekra dalam pertarungan wacana konsep seni, sastra, dan kebudayaan pada zaman demokrasi terpimpin di bawah rezim Soekarno. Tidak hanya itu, Djin juga merumuskan Kritik Ganzheit, sebuah kritik dengan pendekatan ekspresif kepada pengarang dan karyanya dalam sebuah kritik sastra. Di lapangan sastra ini, Djin memang tidak membuat karya sastra. Ia terus menguliti sastra yang berpadu dengan teori-teori akademik. Bersama koleganya Ariel Heryanto, ia juga membuat alternatif lagi tentang sastra pada periode 1980-an dan telah dibukukan dalam buku Perdebatan Sastra Konstektual

Tidak hanya politik dan sastra, di lapangan akademis ia juga konsisten menghasilkan karya-karya yang bermutu. Pembagian kerja secara seksual: Sebuah pembahasan sosiologis tentang peran wanita di dalam masyarakat, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan yang diangkat dari skripsinya, dan tentu saja buku yang diangkat dari disertasinya yaitu Jalan Demokratis ke Sosialisme Pengalaman Chili di bawah Allende. Ihwal teori ketergantungan dunia ketiga, misalnya, ini menjadi salah satu teori yang sangat dikuasai Djin secara komprehensif.

Seperti diutarakan sahabatnya, Goenawan Mohamad, sastrawan sekaligus pendiri majalah Tempo, Djin adalah aktivis dengan idealisme murni. Ihwal idealisme yang murni inilah yang kini jarang untuk tidak menyebut langka di negeri ini. Cendekiawan sekaligus aktivis kini justru mempertontonkan kemesraannya dengan kekuasaaan. Maka, sosok Djin kini hadir menjulang setinggi-tingginya di tengah defisitnya cendekiawan kritis yang dimiliki republik.

Bung Hatta, salah satu proklamator yang juga memiliki sikap sederhana dan kritis, dalam buku Demokrasi Kita yang mengkritisi betapa otoriternya Demokrasi Terpimpin pernah menuliskan pertentangan idealisme dan realita. “Sejarah Indonesia sejak 10 tahun yang akhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara Idealisme dan Realita. Idealisme yang menciptakan suatu pemerintahan yang adil yang akan melaksanakan demokrasi yang sebaik-baiknya dan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Realitas daripada pemerintahan, yang dalam perkembangannya kelihatan makin jauh dari demokrasi yang sebenarnya,” tulis Hatta. Dan Djin, diketahui selalu berupaya berjalan di aras idealisme. 

Pramoedya Ananta Toer saat menghadiri undangan senat UI pernah berbicara tentang Sikap dan Peran Kaum Intelektual di Dunia Ketiga. Menurutnya, kaum intelektual janganlah menjadi intelektual blanko (kosong). Dalam artian, tidak terlibat dan tidak menjadi bagian dari bangsanya(nasion). Seorang yang dinamakan kaum intelektual memiliki pertanggungjawaban moral untuk bangsanya. 

Pram menegaskan kaum intelektual Indonesia, sebagai manusia budaya Indonesia, sudah sepatutnya mempunyai keberanian intelektual dan keberanian moral terhadap Barat. Untuk menuntut dari Barat segala yang terbaik dan berguna, teknologi dan sains, bukan sebagai hadiah kemanusiaan seperti halnya dengan Van Deventer lewat politik etiknya. Praktiknya, terus-menerus yang menjamin lahirnya kedibyaan (genialitas) sehingga keintelektualan tidak tinggal jadi atribut sosial, tapi fungsional, dan membikínnya patut jadi penalaran dan nurani nasion.

Maka, kaum intelektual Indonesia tidak bisa tidak mesti menata kembali dan mengorganisasi secara sadar perasaan dan pikirannya dalam membangun lebih lanjut bangsa Indonesia dalam segala aspeknya. Pada titik ini, saya kira, Djin telah menjalankan tugasnya sebagaimana yang digariskan Pram tentang sikap dan peran kaum intelektual di dunia ketiga.

Sementara itu, cendekiawan sekaligus intelektual terkemuka pada abad 20, Soedjatmoko, juga pernah menuliskan tentang peran cendekiawan di negara berkembang. Ya, sebelum Djin berkibar dengan teori ketergantungan dunia ketiganya, Soedjatmoko lebih dahulu menuliskan pemikirannya yang juga bercorak sosialisme. Buya Syafii Maarif, guru bangsa itu pernah menyatakan Soedjatmoko adalah teladan kaum intelektual Indonesia yang tengah berhadapan dengan pragmatisme intelektualitas. 

"Sosoknya harus dikenal oleh kaum muda di tengah terjadinya degradasi dan inflasi yang dihadapi intelektual, para doktor-doktor kita yang mengedepankan pragmatisme," ujar Buya Syafii Maarif puluhan tahun silam.

Menurut Soedjatmoko, sumbangan utama kaum cendekiawan sedikitnya bisa dirumuskan dalam tiga hal. Pertama, mengubah persepsi bangsa dalam menghadapi berbagai persoalan; Kedua, mengubah kemampuan bangsa menanggapi masalah baru, dan terakhir, mengubah aturan main dalam pergulatan politik. Dalam artian, idealisme kaum cendekiawan dalam pemikiran Soedjatmoko harus disertai pragmatisme dalam bertindak. Tegasnya, untuk melawan kemandekan, cendekiawan dituntut bukan hanya berani, tetapi juga keluwesan yang cerdik dan pemahaman yang mendalam akan masyarakatnya. 

Tidak berlebihan rasanya jika saya juga mencatat bahwa Djin telah menggenapi semua tugas kecendekiaan yang dimaksud para pendahulunya seperti Hatta, Pramoedya Ananta Toer, dan Soedjatmoko. Namun, orang yang dikagumi Djin bukan ketiga nama besar dalam dunianya masing-masing itu. Ia justru mengagumi jurnalis legendaris sekaligus sastrawan, Mochtar Lubis.


Mochtar Lubis

Pada buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad(1992), Soe Hok Djin menuliskan kesannya saat kali pertama bertemu dengan Mochtar Lubis di tempat yang kurang biasa yaitu di penjara. Itu terjadi pada 1966. Judul tulisan Djin pada buku tentang kiprah 70 tahun Mochtar Lubis itu adalah Manusia Multidimensional dan Kontroversial. Djin mula-mula mengenal Mochtar sebagai novelis yang berhasil. Jalan Tak Ada Ujung, novel karya Mochtar Lubis itu, sangat mengesankan bagi Djin. Selanjutnya, Mochtar tampil sebagai jurnalis yang berani dan kritis terhadap pemerintah.

"Sebagai akibat keberaniannya sebagai wartawan dirinya sendiri juga terpaksa 'diberangus'. Dua kali orang ini masuk bui, Orde Lama dan Orde Baru." (Hlm.117)

Menurut Djin, sebagai orang muda yang mendamba kebebasan, Mochtar Lubis adalah pejuang demokrasi yang tidak pernah istirahat. (hlm. 120). Mochtar dipenjara di rumah penduduk di gang Tembok yang dijadikan semacam rumah tahanan. Mochtar tidak sendiri. Ia bersama Soebadio Sastrosatomo, Natsir, H.J.C. Princen. Setelah pertemuan itu, mereka bersepakat mendirikan majalah Horison dan mendapuk Mochtar Lubis sebagai pemimpin redaksinya. Begitulah. Seiring berjalannya waktu, keduanya semakin akrab .

Namun, hubungan baik dengan Mochtar Lubis itu bukan tanpa perbedaan pendapat. Suatu ketika Djin diwawancarai sebuah media ibu kota tentang Bung Karno. Djin menyebutkan bahwa Bung Karno harus dimakamkan di Taman Makam Pahlawan karena jasanya yang besar. 

"Saya menentang kepemimpinan Bung Karno menjelang 1965 karena keotoriterannya. Tetapi, jasanya sebagai pemimpin bangsa sangat besar dan tidak bisa dihapus oleh siapa pun juga." (Hlm.123).

Kontan saja pernyataan Djin ini mendapat sentilan dari harian Indonesia Raya yang digawangi Mochtar Lubis. Indonesia Raya menganggap Djin masih terlalu hijau untuk berpolitik. Djin tetap pada pendiriannya dan mengerti posisi Mochtar Lubis dan kawan-kawannya yang pernah dibui oleh rezim Sukarno. 

Perbedaan pendapat lainnya saat Djin bersama teman-teman lainnya berkampanye untuk memboikot pemilihan umum. Gerakan yang kemudian populer dengan nama Golput ini tidak disetujui oleh Mochtar Lubis. 

"Bagi Mochtar, Golkar merupakan alternatif bagi gerakan pembaruan politik di Indonesia, menggantikan partai-partai politik yang baginya sudah berdosa dengan berkompromi dengan pemerintahan Sukarno yang otoriter." (Hlm.124)

Sekali lagi, Djin bisa memaklumi posisi Mochtar Lubis dalam menghadapi golput. Namun, Djin tetap teguh pada pendiriannya. Menurutnya, Golkar dalam mencapai harapan sebagaimana dimaksud Mochtar Lubis dan kawan-kawan dalam harian Indonesia Raya telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi. Misalnya, dalam Undang-Undang Pemilihan Umum yang membatasi masyarakat membentuk partai baru. Juga dalam pelaksanaan pemilu yang melanggar asas-asas demokrasi antara lain memaksa pegawai negeri untuk memilih Golkar. Kalau tidak, mereka akan diberhentikan dari pekerjaannya.

Lantas, bagaimana Mochtar Lubis tampil kepada Djin, sebagai generasi yang lebih muda? Menurut Djin, Mochtar Lubis seperti kompas, yang selalu menyadarkan Djin tentang arah dan arti kehidupan. Mochtar tidak pernah tergiur oleh iming-iming kekuasaan atau harta. Suatu sikap yang kelak diteladani oleh Soe Hok Djin dari Mochtar Lubis hingga akhir hayatnya. 

Sebagaimana tulisan Djin tentang sosok Mochtar Lubis yang ditulisnya manusia multidimensional yang kontroversial, Sosiolog Ignas Kleden pada harian Kompas, Selasa, 12 Mei 2020, pada satu halaman opini berjudul Arief Budiman, Aktivisme dan Diskursus Publik menuliskan, "Arief Budiman adalah pribadi yang cukup sering menimbulkan kebingungan dan bahkan kontroversi, tidak saja selama hidupnya, tetapi bahkan setelah akhir hayatnya pada 23 April 2020

Pada pungkasan catatan yang mendalam itu, Kleden menuliskan,"Pada akhirnya, Arief Budiman menjadi tokoh yang dikenang, dihormati, bahkan dicintai, karena dia hidup untuk suatu aktivisme yang tanpa pamrih, yang sanggup menggerakkan diskursus publik, mungkin tanpa dia sendiri sepenuhnya sadar akan peran tersebut." Demikian Kleden menutup opininya yang mendalam dan bernas tentang Soe Hok Djin.  

Tetiba, ingatan saya melayang kala menonton Djin diwawancarai jurnalis televisi puluhan tahun silam. Ya, saya pernah menyaksikan Djin diwawancarai wartawan televisi saat ia belum menderita parkinson di rumahnya di Salatiga yang diarsiteki Romo Mangun. Saya takjub memandang griyanya. Rumah itu terlihat sederhana sekali. Entah mengapa bangunan rumah itu seperti didominasi anyaman bambu dan kayu yang saling berpadu. Simpel. Dari penggambaran rumah ini, orang bisa melihat betapa sederhananya sosok sang empunya rumah. 


Jurnalisme

Sedikit yang mengetahui Soe Hok Djin pernah menjadi salah satu aktor sejarah dalam dunia jurnalisme di Indonesia. Oleh sebab Djin pernah menjadi bagian dari sejarah jurnalisme di Indonesia, izinkan saya menyambung sedikit catatan ini ihwal jurnalisme.

Soe Hok Djin diketahui menjadi satu diantara 50-an deklarator di Sirnagalih, Bogor, pada 7 Agustus 1994. Dari sinilah berdiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sebuah organisasi yang dibentuk untuk melawan keotoriteran penguasa Orde Baru dalam bidang pers. Pada titik ini, terlihat jelas betapa konsistennya ia pada prinsip untuk melawan penguasa yang tidak adil. 

Pada buku Bredel 1994 Kumpulan Tulisan Tentang Pemberedelan Tempo, Detik, dan Editor yang diterbitkan oleh AJI pada tahun yang sama, Djin menuliskan catatannya yang berjudul Ketakutan Pers, Ketakutan Kita. Catatan itu dibuka dengan kutipan utama Djin yang menyentil situasi dan kondisi pers di Indonesia. 

"Pers kita hidup dalam ketakutan karena pemerintah masih sangat kuat, sedangkan lembaga-lembaga masyarakat masih kurang berarti. Maka, pers yang mau berjuang harus berhitung dua kali sebelum melanjutkan misinya. Apa boleh buat, kapitalisme sudah merasuk kemana-mana, juga ke dunia pers." (Hlm.23). 

Menurut Djin, ketika Tempo, Editor, dan Detik diberedel, reaksi dari kalangan pers sendiri tidak jelas. Maka, timbul kesan seakan-akan masalah pemberangusan pers hanyalah sekadar soal sosial ekonomi, bukan masalah kemerdekaan pers dan demokrasi. Di titik ini, kembali terlihat konsistensinya terhadap kemajuan demokrasi di negeri ini.

Secara singkat, Djin menggolongkan ada empat macam reaksi pers. Tipe pertama, reaksi yang bersimpati terhadap media yang diberangus. Tipe kedua adalah mereka yang bersimpati, tapi tidak berani bersengketa dengan pemerintah. Tipe ketiga adalah mereka yang mendukung pemberangusan, baik untuk alasan politis maupun bisnis. Tipe keempat adalah mereka yang mendukung pemberangusan tapi tidak berani menyatakan sikapnya. 

Djin menilai pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan keempat tipe pers di atas berbunyi senada. Perbedaannya hanya terletak pada permainan bahasa. 

"Pers kita memang hidup dalam ketakutan; ketakutan terhadap pemerintah dan ketakutan terhadap pandangan masyarakat. Ketakutan pertama menghambat perkembangan demokrasi, dan ketakutan kedua sebaliknya," tulis Djin(Hlm.25). 

   
Ini berbeda, misalnya, dengan masyarakat non-pers. Sikap dan tindakan mereka lebih jelas. Oleh karena pemberangusan pers merupakan tindakan yang membahayakan sendi-sendi demokrasi, maka tidaklah mengherankan kalau para cendekiawan, mahasiswa, dan pejuang-pejuang demokrasi lainnya menjadi prihatin dan turun ke jalan. Adanya orang-orang seperti inilah yang membuat hati Djin merasa terenyuh. Di satu sisi, Djin sedih melihat kenyataan bahwa bangsa ini, setelah lebih dari setengah abad kemerdekaan, masih hidup dalam ketakutan. Di lain sisi, Djin merasa terharu melihat adanya orang-orang (kebanyakan anak muda) yang masih berani secara lantang dan terbuka menyatakan suara hati mereka. 

Pungkasan catatan yang ditulis Djin itu begitu menohok. Ia menulis: Tidak, bangsa ini belum terlalu tenggelam!

Demikianlah catatan saya tentang Soe Hok Djin. Sebagai cendekiawan ia bukanlah tipe cendekiawan yang berada di menara gading. Ia cendekiawan yang turun ke jalan. Ia tidak segan-segan berdemonstrasi menuntut keadilan dari para penguasa. Bahkan, ia rela menderita demi prinsip yang dipegangnya. 

Seperti Soe Hok Gie yang menuliskan Catatan Seorang Demonstran dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan, Djin juga mengkhidmati jalan hidupnya sebagai seorang demonstran dan menyebut dirinya adalah penganut ajaran Karl Marx. Djin adalah cendekiawan sekaligus demonstran. Selamat jalan, Sang Cendekiawan Demonstran...



























29 komentar:

  1. Terlalu ganjang ito tulisan on dang tarjaha AU sude,Gabe haccit do ulukku manjaha hehehe,alai mantap lah tulisannyarmang gak dia dia dari kecil dulu suka baca sejarah,jadi wawasan nya luas.semoga ma jin sukses ya ito.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Olo ito. Nga marbalos pe di blog on nga mauliate godang di hamu

      Hapus
  2. Saya mulai kenal Arief Budiman pada tahun kedua saat kuliah di Undip Semarang (1980) sampai dengan lulus 1985. Arief Budiman saat itu adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Jawa Tengah. Beberapa saya mengikuti kuliah beliau secara "underground", informal & sembunyi-sembunyi. Karena setiap acara resmi kampus yg mengundang Arief pasti dicekal. Sosoknya sederhana lebih suka memakai celana jeans biru dan baju dasar putih. Bicaranya datar-datar saja, tidak pernah berapi-api, apalagi meledak-ledak. Namun setiap kalimat yg diucapkan senantiasa mencerahkan, penuh idealisme yg memotivasi, dan terpancar wibawa intelektual lulusan Harvard. Salah satu kalimat motivasi yang saya ingat: "kalian mahasiswa selagi muda banyaklah belajar seperti Bung Karno, yang saat masih muda sudah banyak membaca buku Hegel, Karl Marx, Das Kapital, dan berjuang untuk kemerdekaan bangsanya". Saya agak terperangah bahwa orang yang kerap mengkritik dan mendemo Soekarno, tetapi justru menjadikannya sebagai contoh baik untuk memberikan motivasi. Seingat saya dan kawan-kawan mahasiswa, Arief berkawan sangat akrab dengan Romo Mangunwijaya, sastrawan, budayawan, dan arsitek pemukiman bantaran/pinggiran Kali Code Yogyakarta. Karya, pemikiran, sikap, dan sepak terjang Arief Budiman telah diulas dengan sangat detail oleh Wandi Barboy. Salah satu gerakan yang paling "heroik" bagi mahasiswa kala itu adalah ajakan Arief Budiman untuk golput (protest voting) pada pemilu Orba tahun 1982 dan pemilu-pemilu berikutnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Pak Profesor Hertanto sudi mampir ke blog ini. Sungguh suatu pengalaman berharga mengikuti kuliah beliau meski underground. Beliau selalu berpihak kepada kebenaran, objektivitas dalam berprinsip, dan independen. Tabik...

      Hapus
    2. Hertanto, FISIP UNILA

      Saya mulai kenal Arief Budiman pada tahun kedua saat kuliah di Undip Semarang (1980) sampai dengan lulus 1985. Arief Budiman saat itu adalah dosen di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga Jawa Tengah. Beberapa saya mengikuti kuliah beliau secara "underground", informal & sembunyi-sembunyi. Karena setiap acara resmi kampus yg mengundang Arief pasti dicekal. Sosoknya sederhana lebih suka memakai celana jeans biru dan baju dasar putih. Bicaranya datar-datar saja, tidak pernah berapi-api, apalagi meledak-ledak. Namun setiap kalimat yg diucapkan senantiasa mencerahkan, penuh idealisme yg memotivasi, dan terpancar wibawa intelektual lulusan Harvard. Salah satu kalimat motivasi yang saya ingat: "kalian mahasiswa selagi muda banyaklah belajar seperti Bung Karno, yang saat masih muda sudah banyak membaca buku Hegel, Karl Marx, Das Kapital, dan berjuang untuk kemerdekaan bangsanya". Saya agak terperangah bahwa orang yang kerap mengkritik dan mendemo Soekarno, tetapi justru menjadikannya sebagai contoh baik untuk memberikan motivasi. Seingat saya dan kawan-kawan mahasiswa, Arief berkawan sangat akrab dengan Romo Mangunwijaya, sastrawan, budayawan, dan arsitek pemukiman bantaran/pinggiran Kali Code Yogyakarta. Karya, pemikiran, sikap, dan sepak terjang Arief Budiman telah diulas dengan sangat detail oleh Wandi Barboy. Salah satu gerakan yang paling "heroik" bagi mahasiswa kala itu adalah ajakan Arief Budiman untuk golput (protest voting) pada pemilu Orba tahun 1982 dan pemilu-pemilu berikutnya (Hertanto, 04/06/2020).

      Hapus
  3. Balasan
    1. Terima kasih, Mas Wahyu untuk kunjungannya. Salam kenal

      Hapus
  4. Bagaimana mengimplementasikan kecendikiawanan tokoh ini dalam generasi sekarang yang semakin individualis di satu sisi tetapi diberangus oleh agama didi lain yang membuat pola pikir dan tindakan di dalam kotak agama tanpa melihat kemajuan dan makna agama itu sendiri. Cendikia seperti Maarif sepertinya hanya tinggal sendirian, sementara cendikia agama yg ingin hidup kembali ke abad awal justru banyak bahkan dianggap sebagai pembawa kebenaran. Ini merusak negara ini secara pelan tapi pasti, yang akan dinikmati hanya orang oportunis tanpa memikirkan cucunya kelak. Dan ini sangat sulit dan mirip dengan yg dialami Djin ini yaitu dua ketakutan... bukan takut pemerintah tapi takut agama dan takut terhadap negara yg keburu pecah dan hancur dalam perang saudara.

    BalasHapus
  5. Mestinya generasi masa kini banyak meneladani apa yang telah diperjuangkan Djin selama hidupnya. Semoga

    BalasHapus
  6. Dari tulisan ini saya di sadarkan kembali sebagai mahasiswa memiliki peran seperti hal yang disampaikan Soedjatmoko, sumbangan utama kaum cendekiawan sedikitnya bisa dirumuskan dalam tiga hal.Pertama, mengubah persepsi bangsa dalam menghadapi berbagai persoalan; Kedua, mengubah kemampuan bangsa menanggapi masalah baru, dan terakhir, mengubah aturan main dalam pergulatan politik. Dalam artian, idealisme kaum cendekiawan dalam pemikiran Soedjatmoko harus disertai pragmatisme dalam bertindak.

    BalasHapus
  7. Iya ito. Mahasiswa itu mesti selalu berupaya menjadi agent of change bagi masyarakatnya. Selain tetap melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itu kalo mau peran spesifik ideal mahasiswa dijalani mahasiswa skrng. Mauliate atas kunjungannya ito Lena👏

    BalasHapus
  8. Iya ito. Mahasiswa itu mesti selalu berupaya menjadi agent of change bagi masyarakatnya. Selain tetap melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Itu kalo mau peran spesifik ideal mahasiswa dijalani mahasiswa skrng. Mauliate atas kunjungannya ito Lena👏

    BalasHapus
  9. Tulisan yg sangat menarik: informatif dan jelas opininya, Bung Wandi. Bahan pengenal yg bagus bagi para mahasiswa milenial mengenal sosok Arif budiman. Dan interpretasi yg segar bagi yg telah tahu pemikiran Arief.

    BalasHapus
  10. Terima kasih atas kunjungannya, Pak/Bu. Salam kenal via blog ini. Tabik

    BalasHapus
  11. Diposting Eben di fB, lalu saya buka dan baca dengan sabar. Sangat membuka perspektif. Terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungannya, Amang. Salam kenal via blog ini, Amang. Horas

      Hapus
  12. Menulusuri rekam jejak seorang intelektual/tokoh/aktivis adalah oase ditengah kebuntuan tradisi membaca, mengamati & mengkritisi keadaan terkini.

    Tulisan ini akan lebih trengginas jika penulis berani menelaah jalan pikiran, arah pikiran orang yang ditelusuri rekam jejak jejaknya.

    Mudah-mudahan ke depan akan banyak tulisan yg membedah rekam jejak arah/tujuan pemikiran para tokoh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih untuk tiap masukannya yang berharga, Bung. Saya masih terus berlatih menulis seperti ini. Tabik

      Hapus
  13. Tulisan yang menarik, menyegarkan ingatan kita kembali tentang seorang tokoh aktivis gerakan indonesia yang memiliki idealisme murni.
     
    Menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit tokoh aktivis intelektual di negeri ini yang tetap membumi dan berpihak pada kaum lemah dan tertindas.
    Seperti pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Pun dengan tokoh ini  meninggalkan warisan sikap, idealisme dan pemikiran yang banyak menjadi panutan dan inspirasi bagi generasi generasi setelahnya hingga hari ini....

    Semangat Bung Wandi Barboy. Ditunggu tulisan2 berikutnya...

    BalasHapus
  14. Tulisan yang menarik, menyegarkan ingatan kita kembali tentang seorang tokoh aktivis gerakan indonesia yang memiliki idealisme murni.

    Menjadikannya sebagai salah satu dari sedikit tokoh aktivis intelektual di negeri ini yang tetap membumi dan berpihak pada kaum lemah dan tertindas.
    Seperti pepatah gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama. Pun dengan tokoh ini  meninggalkan warisan sikap, idealisme dan pemikiran yang banyak menjadi panutan dan inspirasi bagi generasi generasi setelahnya hingga hari ini....

    Semangat bung Wandi Barboy. Ditunggu tulisan tulisan berikutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih Mas. Saya masih terus berlatih menulis, Mas. Semoga

      Hapus
  15. Syaiful Irba Tanpaka9 Juni 2020 pukul 21.26

    Sebelumnya saya hanya tahu tentang Arif Budiman dari dunia sastra, ketika ditahun 80an muncul istilah sastra kontekstual dan sastra universal, dan kemudian terbit buku Arief Budiman PERDEBATAN SASTRA KONTEKSTUAL, maka membaca tulisan di atas membuat saya semakin tahu tentang sosok arief Budiman atau Soe Hok Djin sebagai tokoh pejuang demokrasi bangsa, yang layak diidolakan generasi muda kita saat ini yang kerap saya sebut sebagai GENERASI KRISIS LATAR BELAKANG lantaran terhipnotis oleh arus informasi yang cenderung sekuler dan hedonistik.Terimakasih bang Wandi Barboy Silaban. Spiritualitas tokoh2 serupa ini kiranya penting dan perlu dibangkitkan kembali guna memperkukuh idealisme dan nasionalisme generasi muda. Tabiikpuun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yaa puun. Terima kasih atas kunjungan Bang Syaiful Irba Tanpaka ke blog ini. Ya, Bang saya masih terus belajar, berlatih, dan berproses terus-menerus. Dituliskan supaya tidak dilupakan secara khusus generasi muda masa kini, Bang. Tabik

      Hapus
  16. Mencerahkan, mungkin padi yang tumbuh tanpa terdengar memang tepat untuk merepresentasikan sosok pak arief. Bayangkan jika sosok Arief Budiman hidup dan besar di jaman milenial, perubahan seperti apa yang bisa dibawanya Untuk bangsa ini dengan kemudahan yang dibawa oleh teknologi untuk menciptakan perubahan, mendorong pergerakan!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih atas kunjungannya. Iya. Bersahaja sikap dasarnya. Idealisme kekuatannya. Kritis. Itulah Djin. Generasi millenial bagaimana? Entah mengapa saya teringat Bung Hatta yang mengutip ungkapan penyair Jerman Schiller pada akhir risalah buku "Demokrasi Kita" : "Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil."

      Hapus
  17. Mantapkh bang, mengasah kembali nalar akademik. Sukses

    BalasHapus
  18. Terima kasih. Sukses untuk kita semua. Amin

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.