Seabad Rosihan Anwar

Wandi Barboy 
Wartawan Lampung Post 

NAMA Rosihan Anwar di kalangan pers Indonesia adalah nama yang kiprahnya terus terukir melalui karya jurnalistik dan pemikirannya mengabadi dalam bentuk buku. Pria yang lahir di Kampung Kubang, Nan Dua, Sumatra Barat pada 10 Mei 1922 itu disebut sebagai begawan pers nasional. Dialah pendiri dan pemimpin redaksi majalah Siasat di Jakarta juga pendiri dan pemimpin redaksi harian Pedoman, Jakarta. Tepat hari ini(10/5), kelahirannya genap satu abad. 

Pada buku In Memoriam Mengenang yang Wafat yang diterbitkan penerbit buku Kompas pada 2002, salah satu pendiri harian Kompas, Jakob Oetama (JO), mengungkapkan kekagumannya terhadap Rosihan Anwar. JO merupakan panggilan Jakob Oetama di Kalangan Kelompok Kompas Gramedia. JO biasa menyebut Rosihan Anwar dengan Haji Waang. 

Menurut JO, dalam melihat suatu persoalan, Haji Waang, tidak melihat dari sudut pandang dan dimensi hitam-putih. Haji Waang melihat persoalan dari beragam segi, termasuk ada nuansa, pengkayaan materi, dan pandangan. Haji Waang mengumpulkan bahan dan membuat catatan yang tidak kalah lengkap dari dokumen. Kecermatan catatan serta daya ingat dan daya impresinya luar biasa. Demikian JO menuliskan kekagumannya kepada Rosihan Anwar. 

Di balik sanjungan yang diberikan Jo, ada juga yang mengkritik sosok Rosihan Anwar. Dialah Mochtar Lubis. Jurnalis angkatan 1945 itu sempat berpolemik dengan Rosihan Anwar. Hal itu tertuang dalam buku Mochtar Lubis Wartawan Jihad (1992). Mochtar mengkritik Rosihan Anwar saat turut menandatangani Peraturan Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) Nomor 10, 12 Oktober 1960 tentang izin terbit bagi surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Sedikitnya ada 19 pernyataan yang mendukung politik pemerintah kala itu. 


Mengetahui bahwa Rosihan Anwar, turut menandatangani pernyataan tersebut, Mochtar mengirim surat ke Dewan Pimpinan International Press Institute (IPI), agar keanggotaan Rosihan di IPI dicabut. Rosihan membela diri bahwa dalam menghadapi tekanan apa pun surat kabar perlu berusaha mempertahankan hidup selagi ada kesempatan. Surat kabar tidak kehilangan hubungan dengan masyarakat dan wartawannya tidak mengucilkan diri. Polemik Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar itu mewarnai sejarah pers 1960-an saat tensi politiknya sedang tinggi-tingginya. Rosihan Anwar berkompromi dengan kondisi medianya, Mochtar tidak mau berkompromi. Demikianlah.
Walau begitu, Rosihan Anwar dan Mochtar Lubis tetap bersahabat. Keduanya saling menghargai dan menjunjung kebebasan pers. Keduanya adalah jurnalis 1945 yang cemerlang melalui tulisan-tulisannya. Sedikit yang mengetahui bahwa Rosihan Anwar adalah salah satu pendiri perusahaan film nasional "Perfini" (1950). Dia juga sempat menjadi aktor pembantu dalam film Darah dan Doa (1950), Lagi-lagi Krisis (1956), Karmila (1974), dan Tjoet Nja Dien (1988). 

Rosihan juga menulis naskah film dokumenter/sejarah untuk TVRI seperti Hatta dan Sjahrir di Banda Neira (1984). Penghargaan dan tanda kehormatan juga telah diterima Rosihan Anwar sepanjang hidupnya, antara lain Bintang Mahaputra Utama III pada 1973. 

Maka, pada pungkasan catatan ini, saya ingin mengutip kembali tulisan JO pada buku In Memoriam bahwa kemampuan dan kebiasaan Rosihan mengingat, mencatat, serta menyimpan impresi kejadian penting maupun sehari-hari yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan adalah warisan yang berharga. 

Wartawan yang ingin mengembangkan diri lewat profesinya, tidak perlu ragu menjadikan Rosihan Anwar sebagai suri teladan. Tidak heranlah saat Rosihan mendapat gelar Ayatollah Wartawan Indonesia karena tulisannya terus mewarnai sejak Republik belum berdiri hingga saat ia dipanggil Sang Khalik pada 14 April 2011. 


 Tulisan ini dipublikasikan di koran Lampung Post, Selasa, 10 Mei 2022, Hlm.6, Kolom Nuansa.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.