Tokoh Pers Oleh Wandi Barboy

SAYA menikmati diskusi daring bertajuk Tokoh Pers di Balik Sumpah Pemuda, "Pers Indonesia, Sejarah, dan Perkembangannya" di channel akun YouTube Muspada dengan narasumber orang-orang yang memang sudah berkompeten dalam membahas sejarah pers, yakni Muhidin M Dahlan, Heri Priyatmoko, dan Mariyana Ricky. 

Muhidin M Dahlan, penulis dan pegiat literasi sekaligus peneliti pers, dosen Pendidikan Sejarah Universitas Snata Dharma Yogyakarta, Heri Priyatmoko, dan Mariyana Ricky dari sisi jurnalis. 


 Dari diskusi ini diketahui ternyata para tokoh pergerakan yang merintis kemerdekaan Indonesia justru banyak dari kalangan pers. Muhidin menulisnya dengan dinamo pergerakan. Wahidin Soedirohusodo yang seorang dokter itu ternyata juga seorang jurnalis Retno Dhoemilah. Ia bersama dokter Soetomo, salah satu pendiri Boedi Oetomo, juga redaktur Retno Dhoemilah. HOS Tjokroaminoto yang juga pendiri Sarekat Islam ternyata jurnalis di Oetoesan Hindia

Dokter Tjipto Mangoenkoesomo, yang bolak balik dipenjara karena tulisannya yang tajam. Tjipto menjadi jurnalis De Express. Selain itu, jangan lupakan sang pendidik, pendiri Taman Siswa, Soewardi Soerjaningrat, yang biasa dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Medianya antara lain Persatoean Hindia, Hindia Poetra, dan sebagainya. 


Tentu saja trio pendiri republik, yakni Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, adalah sosok-sosok jurnalis yang lantang menyuarakan kemerdekaan. Muhidin menyarikan kesimpulan semua tokoh pergerakan itu menjadi tiga temuan pers sebagai pembenihan ide keindonesiaan yaitu pers sebagai teknologi, pers juga inhouse atau mimbar organisasi, dan pers sebagai bisnis. 

Mengapa banyak tokoh pergerakan dan pendiri republik ini banyak menggeluti jurnalistik, tanya seorang penanya dari balik layar YouTube. Muhidin menjawabnya bahwa jurnalistik adalah laboratorium ide. Panglima pergerakan pers sebelum Indonesia merdeka itu adalah Medan Prijaji yang dikomandani Raden Mas Tirto Adhisoerjo. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai Sang Pemula. Medan Prijaji adalah koran yang jelas keberpihakannya kepada bangsa yang terjajah dan menjadi perintis jurnalisme advokasi di Indonesia.
Heri Priyatmoko menjabarkan peran dan gerakan para tokoh Sumpah Pemuda yang juga menggeluti jurnalistik seperti Muhammad Yamin, Wage Rudolf Supratman, dan lainnya. 

Di sisi lain, Mariyana Ricky PD, jurnalis senior yang sudah malang melintang di berbagai media, menerangkan ihwal pers Indonesia masa kini. Ia menyatakan jurnalisme pascareformasi lebih baik berkembang dibandingkan sebelum reformasi. Sebab sebelumnya pada masa Orde Baru pers harus melalui sensor lebih dahulu. 

Setelah UU Pers tahun 1999 berlaku, pers mulai menemukan kebebasannya. Namun, kebebasan itu juga disertai kekerasan. Kekerasan terhadap jurnalis masih terus terjadi di negeri ini. Tidak hanya isu kekerasan jurnalis, tantangan jurnalis masa kini lebih kompleks karena tantangan dari berbagai penjuru baik dari sisi internal maupun eksternal pers itu sendiri. Tabik. 

 Dimuat di koran Lampung Post, Sabtu, 25 September 2021 pada halaman opini, kolom Nuansa di halaman 6.

Dimuat juga di situs lampungpost.id pada kolom Nuansa berjudul Tokoh Pers

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.