Refleksi Kejujuran Nasional

Simbul atau Perlambang Ketulusan dan kecerdikan. Diunduh dari: http://ronafransdjoe.blogspot.com/2011/04/cerdik-seperti-ular-dan-tulus-seperti.html
Kejujuran di negeri ini bisa diperjualbelikan. Anda bayar-kami beri demikian pula sebaliknya, begitulah kesan yang seakan menjadi kebiasaan umum dan terjadi pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejujuran itu ibarat barang langka. Karena kelangkaannya itulah kejujuran menjadi teramat mahal saat ini.
Orang yang jujur adalah orang yang selalu siap untuk menjadi "korban". Di negeri ini, kejujuran seseorang bukan untuk dihargai dan diteladani. Di sini, kejujuran justru harus dibuang dan disingkirkan dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejujuran di sini selalu memakan "korban". Ini artinya setara dengan revolusi. Sebagaimana diketahui, jargon revolusi selalu memakan korban anaknya sendiri. Sudah banyak orang jujur di negeri ini yang tertimpa persoalan dan kasus yang mengatasnamakan "kejujuran" ini. Mulai dari kalangan pejabat pemerintahan, tokoh LSM, dan lain sebagainya sudah menjadi korban. Ada Jendral(pol) Hoegeng, Munir, Chandra - Bibit, Prita Mulyasari, dan banyak lagi lainnya. Ironis, tapi itulah yang terjadi. Kejujuran yang ditanamkan sejak masa belia menjadi tak berarti lagi setelah dewasa. Kehidupan orang dewasa di negeri ini seolah menolak mentah-mentah yang namanya "kejujuran".
Ya, inilah negeriku. Negeri di mana kejujuran yang harusnya dikedepankan malah berbalik dikebelakangkan. Bahkan, menjadi terabaikan, karena uang lantang menantang siapa saja. Uang menguasai segala-galanya. Apalah artinya kejujuran jika uang sudah berkuasa? Jawabnya: Nihil. "Kejujuran" di sini bisa dibeli, dirampas, dan juga dipelihara. Kalau sudah begini, "kejujuran" pun akan melahirkan "kejujuran baru"(baca:KEBOHONGAN!). Begitu seterusnya. Dan ini berkembang biak merambah dan memenuhi seluruh penjuru negeri ini. Dengan keadaan macam ini, masyarakat- khususnya generasi mudanya sebagai pelanjut tongkat estafet kepemimpinan bangsa- perlu terus mengawasi dan mengontrol bersama gerak-gerik sistem penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Tulisan ini boleh jadi tulisan tidak jujur. Tapi tulisan ini boleh pula dikatakan menyuarakan kejujuran yang sejujur-jujurnya, dan seluas-luasnya. Semua tentu bergantung pada pemahaman dan kejujuran pembaca yang budiman saja.
Mencermati bagaimana kejujuran yang dilakukan oleh Ibu Siami ini, perantau menjadi teringat dengan ungkapan populer jaman dulu. Ada yang bilang bahwa: kejujuran itu dekat dengan kepolosan dan ketulusan, dan kepolosan itu dekat dengan kebodohan. Singkat kata, sebagian masyarakat di negeri ini menganggap orang jujur adalah orang yang bodoh.
Perantau pun mendadak teringat dengan sabdaNya yang termaktub dalam kitab suci: Tuluslah seperti burung merpati tapi cerdiklah seperti ular. Demikianlah.
Tidak ada komentar: