Nobel untuk Wartawan

PANITIA Nobel Perdamaian 2021 mengganjar dua wartawan dengan hadiah Nobel. Sepanjang sejarah Nobel perdamaian diberikan selama 86 tahun, inilah pertama kali jurnalis alias wartawan merenggut penghargaan bergengsi tersebut. 

Selintas terbersit pikiran, alangkah hebatnya menjadi seorang wartawan. Apa istimewanya si wartawan hingga ia beroleh Nobel? Apakah tidak ada lagi kandidat yang lebih layak dibandingkan si dua wartawan itu? 

Deretan pertanyaan itu terlintas di kepala dan sekumpulan pertanyaan lainnya yang juga timbul dalam benak. Semuanya hanya untuk menyangsikan ada apa dengan para wartawan di masa pandemi?

Bersenjatakan peluru kata-kata yang diuntai, ia seakan bisa mengubah dunia. Tidak percuma sebuah ungkapan yang menyatakan sebuah pena lebih tajam ketimbang pedang. 

Saya langsung melihat profil si dua wartawan yang meraih Nobel Perdamaian di bilah mesin pencarian. Dari laman Medcom.id, saya mendapatkan informasi ihwal keduanya. 

Koran Lampung Post, Kamis, 14 Oktober 2021 pada Hlm.6, Kolom Nuansa.
Koran Lampung Post, Kamis, 14 Oktober 2021 pada Hlm.6, Kolom Nuansa.


Ya, hadiah Nobel Perdamaian 2021 diberikan kepada jurnalis Filipina, Maria Ressa, dan jurnalis Rusia, Dmitry Muratov. Keduanya dianggap berhasil atas upaya untuk melindungi kebebasan berekspresi.

Di sini, kebebasan berekspresi menjadi kunci. Berbahagialah semua jurnalis dan wartawan yang selalu memperjuangkan kebebasan berekspresi. Sebab, di masa pandemi inilah semua terasa manfaatnya. 

Maria Ressa sebagaimana dikutip Medcom.id adalah pendiri, CEO, dan editor eksekutif Rappler, outlet berita daring yang meliput kebijakan dan tindakan pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte di Filipina. Sementara Muratov adalah pemimpin redaksi Novaya Gazeta, sebuah surat kabar Rusia yang menerbitkan liputan kritis tentang Kremlin. Novaya Gazeta, didirikan oleh Muratov pada 1993 dan terkenal dengan pengungkapan mendalam tentang penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, serta korupsi di bawah pemerintahan Rusia.

Baik Ressa maupun Muratov menghadapi upaya pemerintah masing-masing untuk membungkam publikasi mereka. Namun, keduanya terus berjuang dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya. 

Lantas, bagaimana kondisi wartawan di Indonesia? Lampung sendiri seperti apa? Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat selama 2006—2021 kasus kekerasan jurnalis mencapai 878 kasus, mulai dari serangan digital, kekerasan fisik, teror, hingga tuntutan hukum. 

Itu di Indonesia. Seperti apa sikon di Lampung? Sepanjang 2020, Bidang Advokasi AJI Bandar Lampung mencatat sembilan jurnalis yang mengalami kekerasan. Perinciannya, empat jurnalis mengalami intimidasi, dua jurnalis menerima ancaman, dua jurnalis mengalami kekerasan fisik, dan seorang jurnalis digugat secara perdata.

Jurnalis atau wartawan tidak pernah bersih dari kasus kekerasan. Tekanan datang dari segala penjuru selalu ada. Namun, di situlah jurnalis diuji. 

Penghargaan Nobel Perdamaian 2021 untuk wartawan adalah bukti bahwa jurnalis independen kian dibutuhkan. Masa pandemi seperti ini kian menegaskan pers menjadi pilar penting perdamaian dunia serta peradaban hari ini dan masa depan. Semoga.


Wandi Barboy

Wartawan Lampung Post


Dimuat di koran Lampung Post, edisi Kamis, 14 Oktober 2021 pada halaman 6 kolom Nuansa. 


Juga di situs berlangganan Lampung Post yaitu lampungpost.idNobel untuk Wartawan




Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.