"nuansa budaya daerah"

Hari ini ketika masa istirahat jam kantoran(Jam 12 siang-1 siang) aku kedatangan seorang teman dari daerah Jawa Tengah.(aku lupa, persisnya nama daerah itu) ia mengatakan bahwa dirinya membutuhkan pertolonganku. Kedatangannya menginspirasi diri ini untuk mendengarkan lagu-lagu Jawa yang terngiang-ngiang ketika masa kecil dulu. Lagu-lagu seperti Jangkrik Genggong, Walang Kekek, Caping Gunung.

Awalnya putaran pertama lagu itu adalah Caping Gunung,Jangkrik Genggong, Caping Gunung kembali dan kemudian Walang Keke. Seorang Esais muda menghampiriku dan memberikan pengarahan untuk mendengarkan lagu-lagu Batak yang Jazzy. Pikiranku langsung menyebutkan penyanyi muda terkenal yang sedang populer yaitu Vicky Sianipar. Langgam Jawa yang telah membahana selama setengah jam itu pun kugantikan dengan lagu-lagu Batak dari VickySianipar. Aku menerangkan bahwa Vicky adalah seorang musisi muda yang "mendobrak" melalui instrumentalia modern yang digunakannya. Ia menimpali Vicky Sianipar adalah musisi Batak modern yang penggemarnya tak hanya orang-orang Batak tapi juga suku-suku lainnya.



Dengan drum, saxophone,terompet,dan instrumen modern lainnya tampaklah musik batak yang tradisional dengan tiupan seruling yang bersipongang ibarat seorang gembala memainkan suling bambu khas batak memperdengarkan lagu-lagu melankolis di tengah padang rumput dan hamparan sawah yang membentang menandakan suasana hatinya yang rindu dengan teman-temannya yang jauh di perantauan.
Yah,Vicky memang telah mengubah instrumen tradisional yang kental suara seruling juga gondang, ogung, uning-uningan dan lainnya menjadi kental dengan nuansa modern;dentuman bass, drum, saxophone, juga piano yang beriringan satu sama lain, dan tetap menghadirkan instrumen tradisional yang menjadi ciri khas musik Batak.

Aku coba membayangkan dalam pikiranku perbedaan musik Jawa dan musik Batak; Langgam Jawa itu sesuai dengan karakter Budaya Jawa yang kalem, lemah-lembut-irama pun terdengar seperti taat pada "pakem" yang telah berurat akar. Sedangkan Batak sesuai pula dengan karakternya yang terbuka dan tanpa tedeng aling-aling menggambarkan emosi kuat dari hatinya untuk melantunkan lagu-lagu. Sehingga kalau sudah begini dapat terdengar bahwa orang Batak itu bebas-sebebasnya mendendangkan perasaannya, sedangkan Langgam Jawa membutuhkan keharmonisan nada yang lembut dan tenang.
Perbandingan ini mengingatkanku pada seorang temanku yang menanggapi pernyataanku bahwa kamu itu "wong jawa ora njawani" - ia, (perempuan Jawa) membalasnya,bahwa aku "wong batak ora mbataki" (hehe...dasar njawani mana ada istilah mbataki). Aku juga teringat akan seorang sastrawan Batak yang "vulgar" yang diuji "kebatakannya" oleh perkumpulan marganya sendiri (Tetua Punguan Marga). Mungkin saja aku bukan Batak asli yang seperti dimaksudkan lahir di kampung-kampung , tumbuh -besar di sana tapi "kebatakanku"(Habatakon, dalam konsep Batak) tak memalukan atau tak bisa dianggap sepele untuk orang yang telah dilahirkan di perantauan. Orang Tua menjadi orang yang amat memegang peranan kunci dalam menjaga nilai-nilai budaya yang dianut.

Aku adalah seorang pemuda Indonesia yang menyukai beragam nuansa dan budaya dari berbagai etnis yang ada di nusantara, begitu seorang teman lamaku menyebutku. Dimana Bumi dipijak disitu langit dijunjung, begitu peribahasa yang diajarkan dari masa sekolah dasar(SD) dulu. Teman-teman sekalian tak perlu merasa enggan atau ragu-ragu ketika menyukai nuansa kedaerahan. Bahkan, Naisbitt seorang futurolog(gampangnya=peramal) telah memberikan sinyal lewat bukunya megatrend 2000 bahwa semakin canggih suatu zaman dan peradaban akan semakin kuat pula unsur -unsur tradisi mengental dalam setiap aspek kehidupannya. Jayalah Indonesiaku... Majulah Budaya Tradisionalku untuk bersaing dengan bangsa-bangsa asing lainnya!!!

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.