Gerak Letupan Menulis

Guratan Kata Diunduh dari https://ilmyirfan.files.wordpress.com/2015/05/anyjpeg1.jpg


Hujan mengiringi ketikan tulisan ini. Di Jakarta, acara talkshow masih berlangsung, dan aku tetep pantengin monitor saja. Ingin rasanya menuliskan tentang bagaimana kesan-kesan dengan dunia tulis-menulis yang selama ini dijalani. Tapi, sayang, itu hanya letupan perasaan dan keinginan belaka. Tak jadi.

Membacai sebuah buku tentang bagaimana proses kreatif seorang Pramoedya Ananta Toer(PAT) sebagai pengarang, hasilnya: terkagum-kagum. Maestronya para penulis Indonesia yang sunyi senyap. Mengapa sunyi senyap? Ya, sebagaimana diketahui dan sudah menjadi rahasia umum, para penulis memiliki kecenderungan untuk meluapkan dan mencetuskan ide dan pikiran dalam suasana yang penuh kesunyian. Tidak semua, tapi sebagian besarnya, nyaris mengamini pernyataan ini. Dan PAT-lah yang paling teruji. Penulis besar yang konsisten menuliskan pemikirannya meskipun dari balik jeruji sel besi yang berkarat-karat. Terus menulis!!!


Terik terbit kembali. Iklim memang sering tak menentu. Semua ini wajar belaka jika mengingat bumi yang semakin tua. Belum lagi arus globalisasi dunia yang melanda kehidupan bumi manusia saat ini. Perubahan itu begitu cepat dan nyata di depan mata! Ini sebab mengapa tak ada waktu lagi barang sejenak untuk berkontemplasi. Semua terpacu dan dipacu oleh kemajuan zaman yang serba cepat dan canggih.

Dan setiap zaman itu mestilah berubah dan membentangkan perubahannya. Tiap-tiap perubahan yang selalu berpindah-pindah itu, kadang-kadang tak dapat atau tak sampai dalam pengamatan manusia, mengumbang-ambingkan begini banyak manusia di dunia ini.
Perantau yang diombang-ambingkan dengan masa lalu dan masa kininya hanya menuliskannya saja. Perantau itu hanya menulis berdasarkan kesenangan hati diiringi semangat menulis yang menggebu-gebu.

Perawakan terasa gerah. Panas. Ya, panas melela dalam lingkupan hujan yang turun barusan. Arggh., kalau saja bukan di kantor ini, sudah barang tentu bertelanjang dada, kemudian memainkan gitar tua lalu bernyanyi-nyanyi menyuarakan suara hati yang terdengar syahdu dan merdu...

Bah, begitulah perantau. Tak lagi ada rasa sungkannya dalam menembangkan suara hatinya. Terserah saja, persoalan suka atau tidak ketika mendengarnya. Yang ada hanyalah terus bernyanyi. Dan yang terutama : hati riang gembira. Ada sebuah lagu yang selalu diingat perantau untuk ini. Tembang rohani masa sekolah minggu dahulu. Tembang itu mendendangkan bahwa hati yang gembira adalah obat yang manjur. Dan dengan hati yang gembira itu, Tuhan pun senang. Demikianlah.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.