Gambar diambil dari buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi(2017) |
JAGAT sastra tanahair berguncang dan dirundung nestapa. Danarto, sastrawan yang juga pelukis itu berpulang Selasa(10/4) pukul 20.54 di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Penganut ajaran sufi yang telah meraih berbagai penghargaan melalui cerpen-cerpennya yang berbau surealisme itu ditabrak pengendara motor saat hendak menyeberang di depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, siangnya.
Betapa celaka orang yang telah menabrak kakek yang hidup dalam dunia hampa yang mengambang, sunyi, mengerikan. Sonya Ruri, dalam istilah kebatinan Jawa. Ihwal yang juga terlihat nyata dari karya ciptaannya selama ini. Terhenyak membaca kabar yang berseliweran di bilah mesin pencari, saya setop penelusuran. Mendadak, saya teringat saat Danarto diwawancarai oleh wartawan media online, kumparan.com.
Secara personal, saya tak pernah bersua dan berkenalan dengan Danarto. Perjumpaan saya dengan Danarto melalui anak rohani alias buku-bukunya yang beredar di pasaran. Ketika membaca buku Godlob, saya tertegun sekaligus takjub. Mengapa cerpen ini sangat berbeda ketimbang cerpen pada umumnya. Apakah mata saya tidak salah melihat saat memandang garis dan titik-titik yang menghiasi buku-bukunya? Bolehkah memakai garis dan titik-titik yang cukup ganjil terlihat dalam sebuah cerpen? Mengapa ada cerpen macam ini? Perasaan yang diiringi pertanyaan itu terus berkecamuk dalam dada.
Dari hari ke hari seperti halnya waktu yang terus berjalan saya membaca karya Danarto lainnya seperti Adam Ma'rifat dan Setangkai Melati di Sayap Jibril secara sepintas lalu. Dan lagi-lagi model tulisannya kentara unsur sufinya. Oh, barangkali inilah ciri khas gaya menulis Pak Danarto, saya membatin. Unik sekali.
Ketika diri masih ikut-ikutan menjalani semacam tirakat seperti berziarah ke makam Ki Ageng Barat Ketigo, bepergian ke Goa Langse, atau menjalani laku tapa kungkum (berendam diri) di Sendang Kasihan, Bantul, plus keseharian hidup yang makan tidak makan, cerita-cerita Danarto terasa menyempurnakan semua laku itu. Menguatkan. Lega. Inspiratif. Membaca bukunya saya bahkan tahan lapar dan cukup makan satu kali dalam sehari.
Meski bahasa dalam cerita itu terkadang rumit atau susah dipahami, tetap saja tidak menyurutkan niat untuk menuntaskan cerpen-cerpennya yang terasa begitu nyata dan dekat dalam pikiran dan perbuatan. Cerita-cerita Danarto yang menyatu antara yang sakral dan profan, atau duniawi dan ukhrawi itu bagai keseharian hidup yang pernah saya lakoni di Yogyakarta dahulu. Dan rangkaian itu (berjalan) terus mengalir sampai jauh.
Oleh sebab itu, izinkan saya menyebut Danarto sebagai Mbah Pengarang "Roso". Mengapa begitu? Ya, sebabnya kakek guru pendekar cerpen ini telah menuliskan kisah yang sarat dengan endapan rasa dan sudah merasakan sendiri kesunyiannya. Becermin dari karangan-karangannya,
Tidak ada komentar: