Adios, Mbah Pengarang Roso



JAGAT sastra tanahair berguncang dan dirundung nestapa. Danarto, sastrawan yang juga pelukis itu berpulang Selasa(10/4) pukul 20.54 di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta Selatan. Penganut ajaran sufi yang telah meraih berbagai penghargaan melalui cerpen-cerpennya yang berbau surealisme itu ditabrak pengendara motor saat hendak menyeberang di depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, Tangerang Selatan, siangnya. Betapa celaka orang yang telah menabrak kakek yang hidup dalam dunia hampa yang mengambang, sunyi, mengerikan. Sonya Ruri, dalam istilah kebatinan Jawa. Ihwal yang juga terlihat nyata dari karya ciptaannya selama ini. Terhenyak membaca kabar yang berseliweran di bilah mesin pencari, saya setop penelusuran. Mendadak, saya teringat saat Danarto diwawancarai oleh wartawan media online, kumparan.com. Secara personal, saya tak pernah bersua dan berkenalan dengan Danarto. Perjumpaan saya dengan Danarto melalui anak rohani alias buku-bukunya yang beredar di pasaran. Ketika membaca buku Godlob, saya tertegun sekaligus takjub. Mengapa cerpen ini sangat berbeda ketimbang cerpen pada umumnya. Apakah mata saya tidak salah melihat saat memandang garis dan titik-titik yang menghiasi buku-bukunya? Bolehkah memakai garis dan titik-titik yang cukup ganjil terlihat dalam sebuah cerpen? Mengapa ada cerpen macam ini? Perasaan yang diiringi pertanyaan itu terus berkecamuk dalam dada. Dari hari ke hari seperti halnya waktu yang terus berjalan saya membaca karya Danarto lainnya seperti Adam Ma'rifat dan Setangkai Melati di Sayap Jibril secara sepintas lalu. Dan lagi-lagi model tulisannya kentara unsur sufinya. Oh, barangkali inilah ciri khas gaya menulis Pak Danarto, saya membatin. Unik sekali. Ketika diri masih ikut-ikutan menjalani semacam tirakat seperti berziarah ke makam Ki Ageng Barat Ketigo, bepergian ke Goa Langse, atau menjalani laku tapa kungkum (berendam diri) di Sendang Kasihan, Bantul, plus keseharian hidup yang makan tidak makan, cerita-cerita Danarto terasa menyempurnakan semua laku itu. Menguatkan. Lega. Inspiratif. Membaca bukunya saya bahkan tahan lapar dan cukup makan satu kali dalam sehari. Meski bahasa dalam cerita itu terkadang rumit atau susah dipahami, tetap saja tidak menyurutkan niat untuk menuntaskan cerpen-cerpennya yang terasa begitu nyata dan dekat dalam pikiran dan perbuatan. Cerita-cerita Danarto yang menyatu antara yang sakral dan profan, atau duniawi dan ukhrawi itu bagai keseharian hidup yang pernah saya lakoni di Yogyakarta dahulu. Dan rangkaian itu (berjalan) terus mengalir sampai jauh. Oleh sebab itu, izinkan saya menyebut Danarto sebagai Mbah Pengarang "Roso". Mengapa begitu? Ya, sebabnya kakek guru pendekar cerpen ini telah menuliskan kisah yang sarat dengan endapan rasa dan sudah merasakan sendiri kesunyiannya. Becermin dari karangan-karangannya, roso(Jawa)-nya sangat mendalam. Danarto pun orangnya ikhlas dan pasrah. Dia rela dan menyadari bahwa sebagai orang beriman Islam mesti menjalani ujian terus-menerus. Danarto hanya ciptaanNya. "Saya sadar, saya ini kan ‘barang ciptaan’, jadi ya okelah. Makanya doa saya, Ya Allah, karuniai hamba kemudahan dalam usaha. Karena kemudahan dalam usaha itu penting, apalagi saya ini sudah tua. Tenaga berkurang, pikiran berkurang, dan harus tetap survive,” kata Danarto saat ditanya wartawan beberapa waktu lalu. Dia sadar-sesadarnya akan hal itu. Entah mengapa kata-kata "100 tahun kesunyian" Gabriel Garcia Marquez terlintas dalam benakku. Hening terasa. Terkait karya-karyanya, sastrawan Sapardi Djoko Damono pernah mengungkapkan karya Danarto memiliki andil sangat besar dalam perkembangan sastra Indonesia. Ia menilai Danarto memiliki ciri penulisan cerita pendek yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Yang menjadikan cerita pendek Danarto berharga itu bukan ceritanya seperti apa, atau tokohnya seperti apa, tapi suasana yang dibangun oleh cerita pendek itu belum pernah ada di dalam cerita pendek Indonesia sebelumnya. Bukan hanya lebih spontan, tapi ada campuran dari suasana keagamaan, humor, keakraban. Segala macam ada di situ menjadi satu dan tidak bisa dipisah-pisahkan,” kata Sapardi dalam wawancara yang dimuat Southeast Asia Digital Library. Selain itu, nilai-nilai budaya Jawa berpadu ajaran Islam cukup kental mewarnai cerita-ceritanya. Buku Orang Jawa Naik Haji misalnya. Karya itu merupakan pergulatan pemikiran dan keresahan intelektual dari seorang yang pernah meraih penghargaan Achmad Bakrie Award dalam bidang kesusasteraan pada 2009 itu. Ada yang bilang saat menciptakan sebuah karya, Danarto mesti mencapai 'trans' dahulu. Ya, itu adalah suatu keadaan tidak sadar (karena sesuatu hal) sehingga mampu berbuat sesuatu yang tidak masuk akal. Danarto tidak menampik hal itu. Yang terang, dia mengiyakan kedekatannya dengan doktrin sufisme. Saat mengisahkan pengalaman spiritualnya pada 1968 di Garut bahkan ia mengatakan, "Dulu kan saya ingin menyatu dengan Tuhan. Pagi-pagi saya melihat semuanya wajah Tuhan. Tetapi, waktu itu saya menyebutnya bukan Tuhan, melainkan Paduka." Danarto adalah sastrawan besar tapi, sayangnya negara abai dan lalai dengan kondisi pengarang dan pelukis seperti dia. Maestro cerpen ini hidup sendiri di sebuah indekos di bilangan Jakarta. Betapa sedih nasib menjadi pengarang dan penulis di negeri ini. Danarto dan sederet nama lain dalam jagat kesusasteraan telah menanggungnya. Menyadari ihwal ini, sastrawan yang oleh jurnalis cum sastrawan, Goenawan Mohamad, dijuluki sebagai pelopor realisme magis di Indonesia itu, seakan ber-incognito dengan nama besar yang disandangnya. Sosoknya begitu bersahaja dan rendah hati. Saya tertarik dengan sebuah kata-kata di media sosial yang mengutip sekaligus memelesetkan ungkapan dari dokter Yunani kuno, Hippocrates:DanArto is long, life is short. Danarto [karya]-nya panjang atau abadi,hidup itu pendek. Atau dari bahasa aslinya, Ars Longa Vita Brevis. Kalau dalam bahasa Sragenan, tempat kelahiran Danarto:“Seni tan Winates, Gesang Menika Ringkes.”Adios, Mbah Pengarang Roso...

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.
Gambar diambil dari buku Apa dan Siapa Penyair Indonesia yang diterbitkan Yayasan Hari Puisi(2017)